hujan ini seperti mengerti
rimbunan duka dihati bergugur jatuh
langit mendung meraih simpati
aku berdiri meratap keluh.
khabar semalam
ketika riang menggulung ketawa
kau datang bersama senyum paksa
menghulur nota menitip noda
kerana rasa aku tercela.
apa aku ini?
cuma tapak semaian nafsu
kau lontar serakah janji
aku juga kau khianati, dilukai.
tinta ini mencari henti
antara ruang ruang diksi
ada lopak lopak luka
tak bisa terubati meski waktu berlalu pergi.
kau butuh aku waktu sepi
saban dinihari aku termangu
perlu apa rasa ini
masih juga aku simpan rapi
sedang lama sudah ternodai
kita itu cuma mimpi
aku tiada lagi
untuk membenar palat luka itu menari
untuk terbiasa pada rintihan lewat pagi
mencanang cinta pada hati mati
cukuplah, perlunya aku pergi.
Diksi Luka Menari
Senyuman Duka
Gadis Berwajah Ayu
Untuk gadis berwajah ayu,
Aku disini sedang bermain lesu
Dihambat rasa-rasa ingin bersatu,
Cuma tersandar di ranjang pilu.
Untuk gadis berwajah ayu,
Masih aku menahan bungkam mata,
menanti pada yang nama jemu,
untuk mampir menongkah lelap malam.
Untuk gadis berwajah ayu,
Malam ini disinar lemah kalimantang,
Dibias sejuk kipas memaku atap,
Apa ada nama aku dalam lena mimpi dan jagamu.
Untuk gadis berwajah ayu,
Selalu aku butuh kan tawa riangmu,
Sering aku hilang dalam bayanganmu,
Sesat aku dalam puisi bahasamu.
Untuk gadis berwajah ayu,
Pesona mu sering mematah hentikan langkahku,
Apa aku masih dalam dilema rindu,
Hilang tawaku dalam gundah gusar.
Untuk gadis berwajah ayu,
lilin yang membakar semarak rasa bertemu buntu,
Jelaganya cuma menghitam gelap bicara cinta,
Jika perlu aku undur dan berlalu,
Telah lama mati aku dalam bahasa jiwa.
Dua Puluh Sen Ikat Tepi
Masih di pesantren ampuh,
Belikat temulang perlahan melenguh,
Adanya bukan kerna ilmu disuluh,
Hadirnya kerna beban tanpa anduh.
Cuma penjihad kecil dibumi luas,
Bangkit terbit fajar gegah merungkai batas,
Butuh kan ilmu dari luhur ikhlas,
Meski ditambat hutang melibas.
Semalam mendayung menjejak bintang,
Sekali dicoba tidak melepas jurang,
Butuh 20 se mencari sorak riang,
Dibumi merdeka hilang melayang.
bapa ibu berteman gusar dendam,
Sesal mampir dipenjuru siang malam.
Tangan membuang mengangkat pendosa alam,
Kini raikan janji dikota diidam.
apa makanan mu kini biasa-biasa,
belahan daging merah kini sekali-sekala,
dibumi bertuah beban terasa,
Korupsi celaka rakyat binasa.
Ya, padan muka!